Dalam dunia yang semakin multipolar, Indonesia menghadapi tantangan dan peluang besar dalam menjalin hubungan dengan kekuatan besar seperti China dan Rusia. Dengan prinsip politik luar negeri “bebas dan aktif”, Indonesia berupaya memainkan peran strategis sebagai negara non-blok yang dapat bermanuver lincah di antara berbagai kekuatan dunia.
Namun, di tengah tensi geopolitik seperti konflik Ukraina, dominasi China di Laut China Selatan, serta persaingan pengaruh antara Barat dan Timur, bagaimana Indonesia menjaga keseimbangan diplomatik? Mari kita bahas.
Indonesia dan Prinsip Politik Bebas Aktif
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia menganut prinsip politik luar negeri “bebas aktif”. Artinya, Indonesia bebas menentukan sikapnya dalam percaturan dunia, namun aktif berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian internasional.
Dalam praktiknya, prinsip ini menjadi dasar bagaimana Indonesia menjalin kerja sama tanpa terjebak dalam blok ideologi, baik itu pro-AS atau pro-China/Rusia. Namun, realitas geopolitik yang kompleks menuntut Indonesia untuk terus melakukan diplomasi cerdas dan adaptif.
Hubungan Indonesia–China: Antara Peluang dan Kecemasan
China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dalam satu dekade terakhir. Nilai perdagangan kedua negara pada 2024 melampaui US$110 miliar. Investasi dalam infrastruktur seperti proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menjadi simbol penting dari hubungan bilateral ini.
Namun, hubungan tersebut tidak lepas dari kontroversi. Isu Laut China Selatan menjadi ujian tersendiri bagi Indonesia, terutama dengan klaim sepihak China atas kawasan yang masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna. Meskipun Indonesia tidak secara langsung terlibat dalam sengketa tersebut, kehadiran kapal-kapal China di wilayah perairan yang disengketakan menjadi perhatian publik dan militer.
Indonesia berupaya bersikap tegas terhadap kedaulatan wilayah, sembari tetap menjaga hubungan ekonomi yang menguntungkan dengan Beijing.
Hubungan Indonesia–Rusia: Diplomasi Senyap dan Kerja Sama Strategis
Berbeda dengan China yang lebih terlihat di publik, hubungan Indonesia–Rusia cenderung berlangsung secara “low profile” namun strategis. Rusia merupakan mitra utama dalam sektor pertahanan. Kerja sama militer antara kedua negara terlihat dari pengadaan pesawat tempur, pelatihan militer, hingga rencana transfer teknologi.
Dalam bidang energi, Rusia menawarkan kerja sama strategis di bidang nuklir sipil dan minyak gas. Di tengah embargo Barat terhadap Rusia pasca invasi Ukraina, Indonesia memilih tidak ikut menjatuhkan sanksi, namun tetap menyerukan penghentian perang dan penyelesaian damai.
Sikap ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap menjunjung tinggi prinsip non-intervensi, serta membangun jembatan diplomasi dengan semua pihak.
Tekanan dari Barat: Ujian Netralitas Indonesia
Hubungan erat dengan China dan Rusia membuat Indonesia kadang berada dalam tekanan diplomatik dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan sekutu Eropa. Dalam berbagai forum internasional, Indonesia kerap diminta menyuarakan sikap lebih tegas terhadap pelanggaran HAM, agresi militer, atau ekspansi geopolitik.
Namun, Indonesia tetap menjaga netralitas strategisnya. Di forum G20, misalnya, Indonesia tetap mengundang Rusia dan China, sekaligus mendorong dialog terbuka di tengah ketegangan global. Dalam konteks Indo-Pasifik, Indonesia tidak ingin wilayahnya menjadi medan pertempuran pengaruh antara kekuatan besar.
Membangun Diplomasi Multilateral dan Kekuatan Kawasan
Indonesia juga memperkuat kerja sama regional melalui ASEAN dan forum Indo-Pasifik seperti IPEF dan RCEP. Lewat pendekatan ini, Indonesia berharap menciptakan ekosistem stabil dan saling menghormati di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Indonesia menegaskan pentingnya membangun “ekuilibrium strategis” yang memungkinkan semua pihak bekerja sama tanpa saling mengancam. Dengan kata lain, Indonesia ingin tetap menjadi jangkar stabilitas di tengah arus geopolitik yang tidak menentu.
Kesimpulan: Menjadi Penyeimbang di Tengah Rivalitas Global
Diplomasi Indonesia terhadap China dan Rusia mencerminkan tantangan klasik negara berkembang: membangun relasi strategis tanpa kehilangan otonomi politik luar negeri. Dengan kekayaan sumber daya, posisi geografis strategis, serta populasi besar, Indonesia punya potensi besar sebagai penyeimbang baru dalam dinamika global.
Namun, potensi itu hanya bisa dimaksimalkan jika Indonesia mampu menjaga prinsip bebas aktif secara konsisten, memperkuat posisi regional, dan membangun diplomasi yang inklusif serta berorientasi pada perdamaian.
Pertanyaannya kini: Apakah Indonesia siap menjadi jembatan diplomatik antara kekuatan Timur dan Barat di abad ke-21?
Jangan lupa membaca artikel politik lainya.